Mata Sembilu Terbungkus Sutra Halus

Sebuah Opini Tentang "Dewangga"


Kita tahu, sembilu atau selumbar buluh, adalah kulit bambu yang tajam. Sesaat setelah teriris mata sembilu, kita tak akan tahu, setelah darah mengucur, barulah pedihnya terasa. Menggigil badan lalu demam pada malam harinya, karena sembilu dari jenis bambu tertentu memiliki bisa. Sebuah sakit diantara yang sakit.  Sembilu adalah kata generik untuk duka tersembunyi, tak kasat mata, dan beban yang di ming-ke (dianggap tidak penting) oleh sebagian orang.

Menyimak dan membaca buku Kumpulan Cerita Pendek "DEWANGGA", baru saya sadari bahwa terselip mata sembilu di tiap cerpennya, setidaknya begitulah menurut saya. Walau tentu saja tidak semua cerpennya bernada sembilu. Di buka dengan sebuah sajak dari Wirastriaji berjudul "Menembus Pelangi". Terlepas dari sudah atau belumnya sembilu mengiris, sajak itu sudah bermuatan duka.
Mari kawan kita keluar dari hitam 
Dari kelabu dinding kematian
Dari ruang tunggu yang suram
Setelah itu terbentanglah tangga cepen dari halaman 4 sampai 164. Di mulai dari cerpen "Sorban Merah" yang lekat beban di pundak yang tidak enteng ditambah dengan harapan besar yang entah sampai kapan terwujud.
Sampai kesunyian malam mencengkeram kulit dan tulang, sampai panas aspal kembali melubangi sepatuku, sampai.... sekarang

Naik ke tangga cerpen "Lelaki Pilihan Buat He" dan "Rumah Perahu", tentang sembilu-nya buruk rupa, lantas bertemu dengan seorang lelaki ber-blangkon tekes, memakai kain sebatas lutut dengan keris di pingganngnya, dalam cerpen "Sahabat Yang Merindukan Panji" milik Telaga Remunggai. 

Terus keatas meniti cerpen demi cerpen, di halaman 59 kita akan membaca "Kebahagiaan Yang Melawan Kodrat" tentang sembilu-nya terasing dalam keramaian. Dijemput oleh "Keluarga Bapakku dan Silsilah Keluarga Ibu yang Hilang" yang tak kalah mengharukan.

Sedang "Two Lover", cerpen "GNINEH DAN NOILEDNAD", juga "Gadis Senja" menyuguhkan sebuah romantika. Dan alur romantika itu hanya untuk membalut luka yang tak kalah pedih. Bahkan mimpi yang indah-nya "Nifi Ma Caru"  dan "Gadis Kecil" tak bisa menawarkan duka nestapa cerpen sebelumnya.

Klimaksnya, Rik SJP menggila, lebih gila dari yang gila. Bahkan sampai kini pertanyaan itu tak pernah terjawab: "Siapa yang gila? Aku? Pembaca? Atau yang menulis ceritanya?". Saya fikir ini sudah berakhir, ternyata belum, karena Mulyoto M, menutup rangkaian cerpen dengan mengamuk dalam "Penari Jaran Kepang". Simak saja endingnya:
Mataku melotot, tapi pandanganku nanar. Kadang aku bergerak-gerak layaknya monyet, kadang menggeram laksana harimau yang marah. Entahlah, berapa roh yang berganti-ganti merasuki-ku
Yang lebih lagi, Sesaji Kidung Pamungkas yang biasanya disebut penutup itu pada kalimat awalnya masih juga berbunyi "Sebelum kita mati........". Aduh! Saya benar-benar meriang. Cerita yang lebih ringan deritanya hanya dimiliki oleh "Berpetualang dan Berubah" serta cerpen "Aku; Adikmu; Lelaki berjaket Abu-abu"

Namun dari segala namun, Rumpun Nektar telah berhasil menawarkan (membuat tawar) bisa sembilu itu dengan cantik. Pada setiap cerpen dalam antologi Dewangga, kita akan mendapati begitu banyak duka nestapa, derita yang larat, resah, gundah dan ke-entahan- masa depan. Namun tiap cerpen juga menyajikan penawarnya dalam pinggan emas. Setiap tokoh cerpen selalu menawarkan sebuah solusi yang tersurat maupun tersirat. Jadi rasanya tak berlebihan bila saya mengatakan kalau Dewangga, terbitan deKa Publishing itu seperti mata sembilu terbungkus sutra halus. 

Kain sutra yang halus membungkus dan menjaga mata sembilu agar tak mengiris orang dengan tak sengaja, namun tidak mengurangi ketajaman mata sembilu itu sendiri. Kain sutra juga membuat bisa sembilu menjadi tawar, sebelum sewaktu, waktu digunakan untuk menyunat, memotong tali pusat dan sebagainya.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Dikunjungi

Protected by Copyscape Plagiarism Check
MyFreeCopyright.com Registered & Protectedfor copyright
Animated Cool Shiny Blue Pointer
Diberdayakan oleh Blogger.

Key Word

Translate

Best Regard

Daftar Blog Saya