Entah apa yang membuat kita merasa senang melihat keluar, mungkin karena memang jiwa kita yang selalu ingin bebas, sehingga walau badan terkurung dan tersekat ruangan, pandangan mata keluar bisa jadi lumayan dan begitu berarti.
Perhatikanlah setiap penumpang yang berada di dalam bus kota, kebanyakan mata mereka terarah keluar. Yang tidak melihat keluar biasanya punya alasan tersendiri, seperti tidur, ingin pedekate sama kenek bus, atau pencopet yang mencari mangsa. Begituah celakanya kita, setiap perbuatan yang tidak umum selalu dinilai tidak umum pula. Secara iseng saya pernah bertanya pada salah satu penumpang tentang alasannya melihat keluar, jawabannya: "karena diluar banyak hal yang menarik untuk dilihat" (dia menjawab dengan masih melihat keluar).
Sering pula kita lihat bahkan kita alami, ternyata kita lebih senang melihat kearah luar ruangan melalui jendela. Padahal jutaan rupiyah dikeluarkan orang untuk mempercantik rumahnya dengan desain dan karya seni memikat, tapi semua hanya dilirik sebentar, dan..... lagi-lagi lebih senang melihat keluar.
Tak terkecuali bagi penghuni rutan, sebagian mereka lebih senang mengarahkan pandangan mereka keluar sel, walau hanya menemui tembok kaku dibalik jeruji itu. Tembok yang sama persis dengan yang ada di dalam selnya.
Tak sedikit yang tidak setuju kalau saya katakan, setiap orang yang menghadap layar monitor atau HP juga sedang melihat keluar. Sejenak meninggalkan apapun dirinya, memasuki dunia yang lebih maya, keluar sana, dimana ada si anu, si dia, si ogah, dan banyak si lainnya yang bahkan tak kita kenal. Semua itu ada di luar sana.
Lusinan juta orang juga melihat "keluar sana" dalam seluruh gaya hidup. Mencoba meniru model rambut itu, model baju itu, model kota itu. Ribuan model ada diluar sana. Pertanyaannya adakah yang melihat model kita?
Siapapun, dimanapun, dan dalam keadaan apapun akan secara naluriah senang melihat keluar. Bahkan kalau perlu sekedar mengintip. Sebentar didalam ruangan (baik ruang nyata atau imaginer) tanpa melihat keluar adalah siksaan tersendiri, apalagi bila ruangan itu sempit. Ada kebebasan dari belenggu, ada ketenangan dalam hiruk-pikuk, ada harapan tersirat dan tersurat, ada kelegaan di tiap tatapan, ada sepi menyayat, pilu membatu, duka meradang, nestapa tak terhingga, dan gelegar gairah di luar sana.
Entahlah, apa yang kita cari dari luaran sana, entah apa pula yang mendorong kita untuk lebih mencari dan lagi, dan lagi. Kita seperti kehausan di tengah gurun, sebuah telaga berlinang air jernih seakan menunggu di luar sana. Kadang ketertarikan itu hanya sekelebat pemandangan fana, yang bahkan hilang sekejap mata. Tapi mengapa tidak? Toh tak ada larangannya.
Malam disudut jendela?
Siang garang di sebalik kaca?
Dunia monster di lubang maya?
Sorga dan keindahan di balik tabir?
Tempat Tuhan bersemayam?
Semua ada diluar sana?
Dari lubang dan celah mana?
Dari pintu dan gerbang apa?
Dari teropong dan kaca mata siapa?
Dari cermin dan perigi bagaimana?
Dari dalam atau luarkah terarah mata?
Dimabuk kera berayun, terlepas anak dari peluk, .
Yang aku tetap tak mengerti:
Malam disudut jendela?
Siang garang di sebalik kaca?
Dunia monster di lubang maya?
Sorga dan keindahan di balik tabir?
Tempat Tuhan bersemayam?
Semua ada diluar sana?
Dari lubang dan celah mana?
Dari pintu dan gerbang apa?
Dari teropong dan kaca mata siapa?
Dari cermin dan perigi bagaimana?
Dari dalam atau luarkah terarah mata?
Dimabuk kera berayun, terlepas anak dari peluk, .
Yang aku tetap tak mengerti: